Kamis, 12 Juli 2012

saat kafir menghina islam

Islam membolehkan,
bahkan menganjurkan
kepada pemeluknya
untuk berbuat baik dan
berlaku adil kepada
orang kafir, seperti
membantu urusan
mereka, menyambung
tali silaturahim, saling
membagi makanan, dan
lainnya. Tapi dengan
syarat, selama mereka
tidak memerangi agama
Allah dan tidak mengusir
umat Islam dari negeri
mereka.
Namun apabila orang
kafir sudah berani
menghina Allah, Rasul-
Nya, dan ajaran Islam;
memerangi kaum
muslimin karena agama
mereka, dan mengusirnya
dari negeri mereka, maka
umat Islam tidak boleh
berbaik-baik dan
bermuka manis kepada
mereka, sebaliknya harus
mengumandangkan
permusuhan terhadap
mereka. Allah Ta'ala
berfirman:
"Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada
memerangimu karena
agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu
menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu
karena agama dan
mengusir kamu dari
negerimu dan membantu
(orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barang
siapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-
orang yang dzalim." (QS.
Al Mumtahanah: 8-9)

Apabila orang kafir sudah
berani menghina Allah,
Rasul-Nya, dan ajaran
Islam; memerangi kaum
muslimin karena agama
mereka, dan mengusirnya
dari negeri mereka, maka
umat Islam tidak boleh
berbaik-baik dan
bermuka manis kepada
mereka, sebaliknya harus
mengumandangkan
permusuhan terhadap
mereka.
Jika orang kafir sudah
berani menghina Islam
dan syiar-syiar (simbol-
simbol)-nya, berarti
mereka
mengumandangkan
perang terhadap kaum
muslimin. Karenanya,
umat Islam wajib
melakukan pembelaan
kepada agamanya.
Imam Ahmad bin Hambal
pernah ditanya tentang
seorang Yahudi ahli
dzimmah yang kebetulan
melewati seorang
muadzin, lantas ia
berkata, "bohong kamu."
Beliau menjawab, "dia
harus dibunuh, oleh
karena dia telah
mencerca." (Dinukil dari
Fatwa Mati Buat
Penghujat, Abdul Mun'im
Halimah "Abu Bashir" hal.
52-59)
Banyak orang yang
menolak fatwa hukuman
mati bagi para penghina
Rasulullah saw. dengan
bersandar pada sifat
Rasulullah saw. yang
welas asih dan penyabar,
sebagaimana
dicontohkan dalam
pengalaman pahit beliau
ketika pertama kali
berdakwah ke Thaif. Di
sana beliau dicaci maki,
bahkan kemudian
dilempari batu dan
kotoran sehingga
tubuhnya terluka cukup
parah dan terpaksa
melarikan diri ke suatu
tempat yang jauh. Ketika
datang malaikat yang
menawarkan jasa untuk
menjatuhkan gunung ke
atas kepala orang-orang
Thaif, Rasulullah saw.
menolak dengan sopan
dan malah mendoakan
agar dari kaum tersebut
muncul pembela-pembela
Islam di masa depan.
Jika kisah ini adalah satu-
satunya referensi untuk
dijadikan dalil, maka
wajar saja jika yang
muncul kemudian adalah
sikap pasif dan mazhab
sinetron (hanya bisa
berdoa kepada Allah
tanpa mampu membalas
kezaliman orang lain).
Namun menggunakan
satu dalil bukanlah sifat
seorang fuqaha sejati.
Kita juga perlu melihat
sikap Rasulullah saw.
dalam kesempatan lain
untuk mendapatkan
gambaran yang tepat.
Sikap pasif dan lemah
jelas tidak tepat untuk
disandarkan kepada
beliau, karena selain
pemimpin agama, beliau
juga seorang jenderal
perang yang pemberani.
Ketika pasukannya kocar-
kacir digempur musuh,
beliau malah memacu
kudanya ke garis depan
seraya berseru, “Aku
Rasulullah, bukan
pembohong! ” Dan, tentu
saja, keberadaan beliau
di medan jihad
berimplikasi pada
tumpahnya darah musuh-
musuh Islam.
Di sini jelas sekali
perbedaan sikap beliau
antara pada masa awal
dakwah di Thaif dengan
perilakunya di medan
jihad. Mengapa beliau
tidak memberikan
perlawanan ketika
dianiaya di Thaif, namun
justru memerangi lawan
dengan kerasnya di
medan jihad? Hal ini
menunjukkan adanya
pertimbangan lain,
misalnya situasi dan
kondisi aktual pada saat
itu. Ketika berdakwah ke
Thaif, Rasulullah saw.
baru memiliki sedikit
pengikut. Posisinya
sangat lemah, bahkan
kedatangan beliau ke
kota itu adalah untuk
meminta perlindungan.
Karena itu, melawan
secara fisik adalah
tindakan yang terlalu
sembrono. Namun situasi
berubah total seiring
waktu, dan dengan
demikian, sikapnya pun
harus berubah. Di medan
jihad, tidak ada tempat
untuk sikap pasif.
Ada pula riwayat yang
menceritakan bagaimana
seorang suami membunuh
istrinya yang kerap kali
menghina Rasulullah
saw., dan Rasulullah saw.
membenarkan tindakan
sang suami. Ini sama
sekali tidak bertentangan
dengan ajaran Islam yang
welas asih, karena
Rasulullah saw. memiliki
peran sentral dalam
hidup seorang Muslim.
Kita tidak berhak disebut
Muslim jika hanya
mengakui kekuasaan
Allah, melainkan juga
harus mengakui legalitas
Muhammad saw. sebagai
utusan-Nya. Dengan
demikian, penghinaan
terhadap Rasulullah saw.
dianggap sama dengan
usaha ‘menggoyang’
kehormatan umat Islam.
Jika ini masih belum
cukup, ingatlah bahwa
Rasulullah saw. juga
pernah membenarkan
pembunuhan terhadap
seorang lelaki yang telah
mencederai kehormatan
seorang Muslimah, yaitu
dengan melakukan suatu
perbuatan yang
menyebabkan jilbabnya
terangkat. Jika membela
kehormatan seorang
Muslimah pun harus
sedemikian kerasnya,
apalagi membela
kehormatan Rasulullah
saw.
Jika Anda mencari kata
“ membunuh” dalam
terjemahan Al-Qur’an
(Anda dapat
menggunakan layanan ini
untuk memudahkan),
maka Anda akan
temukan kenyataan
bahwa tidak semua
pembunuhan itu dilarang
dalam Islam. Q.S. Al-
Baqarah [2] : 251
mengisahkan bagaimana
Nabi Daud as. membunuh
Jaluth, dan ini
menunjukkan bahwa
pembunuhan itu memang
dihalalkan dalam konteks
perang. Q.S. Al-Maaidah
[5] : 32 menjelaskan
bahwa memang ada
manusia yang pantas
dibunuh sebagai hukuman
atas perbuatannya. Q.S.
Al-Baqarah [2] : 91
menjelaskan bahwa
orang beriman tidak
mungkin membunuh para
Nabi, namun Q.S. Ali
Imran [3] : 112
menjelaskan bahwa
sekelompok orang telah
dianggap kafir karena
telah membunuh para
Nabi tanpa alasan yang
benar. Ini bukan sebuah
kontradiksi, melainkan
sebuah penegasan dalam
bentuk yang sangat
ekstrem bahwa sekiranya
ada alasan yang bisa
dibenarkan, maka
membunuh Nabi pun
boleh. Akan tetapi, tentu
saja, para Nabi adalah
manusia yang mulia dan
tentu tidak ada alasan
untuk membunuhnya. Ini
sejalan dengan sikap
Rasulullah saw. yang
menyatakan siap
memotong tangan
Fatimah ra. – putrinya
sendiri – jika ia mencuri,
meskipun semua orang
mafhum bahwa Fatimah
ra. bukanlah seorang
pencuri.
Bagaimana pun, jelaslah
bahwa dari perspektif
Islam, ada pembunuhan
yang dibolehkan, jika
alasannya cukup kuat.
Selain alasan, perlu
diperhatikan juga
caranya. Sedangkan
membunuh hewan qurban
pun mesti dipermudah
(pisaunya ditajamkan dan
tidak menyiksanya),
apalagi terhadap
manusia, meskipun ia
adalah musuh.
Prinsip Dasar
Agama adalah prinsip
dasar. Jika tidak dijadikan
prinsip, maka agama
tidak lagi bermanfaat
bagi pemeluknya. Anda
tidak mungkin mengaku
Muslim namun menolak
ajaran Islam,
sebagaimana penganut
agama Budha pun sudah
sewajarnya menjalankan
ajaran-ajaran Budha. Jika
Anda melanggar ajaran
Islam dengan penuh
kesadaran namun tetap
mengaku Muslim, maka
tindakan ini bisa disebut
nifaq dan
pantas disebut munafiq.
Jika agama dijadikan
prinsip dasar, maka
segala tindakan manusia
harus mengacu padanya.
Jika mengacu pada
prinsip sekularisme, maka
sekularisme pun menjadi
sebuah agama baru. Oleh
karena itu, dalam
memahami ajaran Islam,
seorang Muslim wajib
menggunakan pola pikir
Islam, bukan yang lain.
Jangan mengatakan
bahwa membunuh itu
terlarang padahal Al-
Qur ’an tidak menyatakan
demikian. Jangan pula
mengatakan bahwa
hukum qishash itu kejam,
sementara Al-Qur ’an
menyatakan bahwa
qishash membawa pada
keselamatan. Jika terus-
menerus menggunakan
prinsip di luar Islam,
maka dengan mudahnya
akan muncul pemikiran-
pemikiran ‘ajaib’ semisal :
shaum itu menyiksa diri,
shalat itu membuang-
buang waktu, dan tunduk
patuh pada Allah adalah
bukti bahwa Allah itu
otoriter.wallhu'alam.

sumber : http://masalahjihad.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar